DPC PPWI TANAH BUMBU PERIODE 2011-2016 > Dewan Pembina/Penasehat > dr. HM. Zairullah Azhar, MSc / Prof. DR. Arief Amrullah, SH, M.Hum / H. Rahmida, SE / Mahyudi Djinggo - Dewan Pengurus : > Imi Suryaputera (Ketua), Imran AH (Wkl Ketua), Eko Sulaksono (Sekretaris), M. Ilham, Z (Bendahara), Bidang & Biro : > Rudi Hartono (Hukum & Advokasi), Rahman (Sekretariat & Organisasi), Agus Kistiyanto (Pendidikan & Litbang), Dede Armansyah (Usaha & Keuangan), Azhar (Koordinator Humas & Publikasi), M. Noor (Humas & Publikasi)

Penerjemah Bahasa

Senin, 01 Agustus 2011

Nyontek Massal Sudah dari Dulu

Urusan nyontek massal pada saat mengikuti Ujian Nasional (dulu namanya EBTANAS), saya punya pengalaman tersendiri saat mengikuti EBTANAS di sebuah SMA di kampung kelahiran saya nun jauh di bagian tenggara Pulau Kalimantan.

Saat itu tahun 1986, SMA dimana saya bersekolah merupakan sekolah swasta yang mengikuti EBTANAS di sebuah sekolah negeri di ibukota kabupaten yang jaraknya dari sekolah kami mesti ditempuh dengan menyeberangi sebuah selat dengan alat transportasi air sejauh sekitar 15 mil laut.

Selama sekolah kami berdiri, setiap mengikuti EBTANAS atau ujianuntuk kelulusan, selalu mengikut ke sekolah negeri tersebut. Hasilnya lumayan, kalau tidak separo kelas yang tidak lulus, atau sedikit diatasnya, sudah cukup bagus (hehehe……).

Makanya sebulan sebelum mengikuti EBTANAS, pelajar kelas 3 diharuskan mengikuti pelajaran tambahan (les) setiap sore hari.

Saya yang memang jarang masuk sekolah, meski ke sekolah tapi jarang mengikuti pelajaran, memutuskan untuk tidak ikut pelajaran tambahan yang digelar tiap sore itu. Saya lebih memutuskan membelajari kembali pelajaran waktu SMP, dan belajar sendiri di rumah. Saya pikir, atau lebih tepatnya memprediksi soal-soal ujian yang akan muncul dalam EBTANAS nanti adalah soal-soal dari pelajaran yang sudah banyak dilupakan oleh para pelajar.

Meskipun saya tergolong pembolos, namun setiap kali ulangan yang diberikan oleh masing-masing guru pelajaran, nilai saya tak pernah jeblok (merah), paling tidak saya mendapat nilai 6.

Banyak teman sekelas saya beranggapan bahwa saya termasuk pintar (belum jenius). Tapi saya pikir lagi saya hanya pintar menentukan kapan tepatnya harus belajar dan mengulang menyimak kembali pelajaran seusai didapatkan pada waktu pelajaran di sekolah.

Perkara nyontek massal sudah kami lakukan sejak lama. Setiap ulangan yang diadakan oleh guru pelajaran, banyak teman saya yang minta contekan jawaban dari saya. Biasanya usai ulangan saya ditraktir makan minum di warung oleh teman-teman yang sudah memperoleh contekan jawaban dari saya (hehehe…….sedap !)

Begitupun ketika saya dan teman-teman mengikuti EBTANAS, saya memberikan contekan dari jawaban saya ke teman-teman yang satu ruangan dengan saya. Karena dalam setiap ruangan para peserta EBTANAS dicampur antara kami dengan pelajar SMA dimana kami mengikuti ujian.

Dan tindakan saya ini malahan mendapat dukungan dari para guru dan Kepala Sekolah SMA kami. Saya dipanggil oleh pak Kepsek dan pak Guru Wali Kelas saya, mereka meminta agar saya membantu teman-teman lainnya, memberikan hasil jawaban saya ke mereka. Caranya saya memberikan jawaban contekan tersebut diserahkan kepada saya dengan terlebih dahulu memberikan petunjuk teknisnya kepada teman-teman (contek massal juga pakai Juklak dan Juknis, hehehe……).

Untuk memberikan jawaban contekan kepada teman-teman di ruang lain, saya mesti orang pertama yang menyelesaikan jawaban. Setelah mencatat semua hasil jawaban saya di kertas kosong yang sudah dipersiapkan, saya pun memberikan lembar jawaban saya ke pengawas (untungnya si pengawas tak menggeledah saya sebelum meninggalkan ruangan). Kemudian saya menunggu teman dari ruangan lainnya yang akan keluar menemui saya dengan ijin ke pengawas akan buang air.

Ini kebanggaan tersendiri bagi saya yang di sekolah dicap pembolos tapi mendapat kepercayaan sebagai komandan pelaksanaan contek massal (jangan ditiru, kalau bisa, kalau tidak, Lanjutkan !)

Sebagai konpensasi dari itu semua, saya mendapatkan sokongan dana dari teman-teman untuk keperluan makan minum, belanja dan penginapan selama mengikuti ujian jauh dari rumah (ini benar-benar enak, profesional, hihihihi…….).

Hasil dari contek massal itu adalah, dari 2 kelas IPS yang muridnya berjumlah hampir 150 orang, lulus EBTANAS dengan prosentase 65 persen. Dan ini menurut Kepsek kami merupakan jumlah yang lulus terbanyak sejak sekolah kami mengikut ujian di sekolah lain. Dan saya mendapat NEM (Nilai Ebtanas Murni) sebesar 36,96 untuk 6 mata pelajaran yang dimasukkan ke NEM, nilai NEM saya ini paling tinggi diantara seluruh teman saya, dan berada pada ranking 5 untuk se kabupaten.

Oh ya, EBTANAS itu selain diikuti 2 kelas IPS, juga 1 kelas IPA di sekolah kami. Adapun kelas IPA, para pelajarnya hanya mampu lulus dibawah 50 persen. Bahkan juara kelas dari kelas 1 hingga kelas 3, tidak lulus pada EBTANAS tersebut.

Banyak teman-teman saya yang tidak yakin sang juara kelas tidak lulus. Mereka membandingkannya kepada diri saya. Dan saya hanya dapat berprediksi bahwa tak lulusnya juara kelas itu karena dia tidak seperti saya, dia tak mau melakukan praktik contek massal, dia hanya ingin lulus sendiri, dia egois, dia tidak memiliki solidaritas untuk melakukan hal-hal baik yang meski di mata orang lain sebenarnya adalah hal buruk, dia ingin bangga dengan hanya dirinya saja yang sukses, dia ingin…………, dia ingin……….., dia ingin………….., yang jelas dia tak ingin seperti saya meski mungkin sebenarnya dia ingin seperti saya setelah dia mendapat kegagalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar