Para orangtua kami di kampung dulu hanya mengenal 1 merk sepeda motor. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul, “kamu naik mobil atau naik Honda ?”, atau “Honda kamu merk-nya apa ?”
Padahal seingat saya waktu itu di era 1970-an, yang namanya sepeda motor terdiri dari berbagai merk. Tapi di kampung kami tahunya sepeda motor itu cuma Honda.
Ini tampaknya sudah merupakan kebiasaan lama dalam menyebut sesuatu barang yang agak sulit untuk ditinggalkan. Sehingga ada seorang tetangga kami yang sedang hamil besar, suatu hari sudah merasa hampir dekat mau melahirkan. Oleh suaminya dibawa dengan menggunakan sepeda motor pinjaman dari seorang tetangga lainnya untuk diantar ke klinik bersalin. Menurut suaminya yang mengantar, istrinya nyaris melahirkan diatas sepeda motor sebelum tiba di klinik. Anak mereka lahir beberapa menit setiba di klinik, seorang bayi perempuan. Atas apresiasinya terhadap sepeda motor yang membawa istrinya itu ke klinik, bayi mereka pun diberi nama “Hondariyah”. Padahal seingat saya merk sepeda motor yang dipakai tetangga tersebut adalah “Suzuki”, mestinya mereka beri nama, misalnya Siti Suzuki, Dewi Suzuki , atau Suzukiwati (:D)
Ada lagi, para orangtua kami di kampung bila menyebut mie instant tahunya hanya “Supermie”, mereka tak peduli pada merk lainnya. Begitupun terhadap penyedap rasa untuk masakan, ibu-ibu rumah tangga pastinya hanya mau kenal dengan “Ajinomoto”.
Ini kebiasaan, tapi dapat juga dikatakan sebuah fanatisme terhadap merk, brand image ? Atau karena memang merk-merk tersebut lebih dahulu dikenal sebelum bermunculan merk lainnya.
Sama halnya yang terjadi terhadap merk busana (pakaian). Merk celana panjang Levi’s menjadi semacam legenda, sehingga setiap celana jenis itu disebut celana Levi’s.
Karena kini kebanyakan lebih merasa pintar :D daripada orang-orang dahulu, maka kita sudah mengenal banyak merk dengan sebutan yang pas sesuai namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar