DPC PPWI TANAH BUMBU PERIODE 2011-2016 > Dewan Pembina/Penasehat > dr. HM. Zairullah Azhar, MSc / Prof. DR. Arief Amrullah, SH, M.Hum / H. Rahmida, SE / Mahyudi Djinggo - Dewan Pengurus : > Imi Suryaputera (Ketua), Imran AH (Wkl Ketua), Eko Sulaksono (Sekretaris), M. Ilham, Z (Bendahara), Bidang & Biro : > Rudi Hartono (Hukum & Advokasi), Rahman (Sekretariat & Organisasi), Agus Kistiyanto (Pendidikan & Litbang), Dede Armansyah (Usaha & Keuangan), Azhar (Koordinator Humas & Publikasi), M. Noor (Humas & Publikasi)

Penerjemah Bahasa

Kamis, 07 April 2011

Quo Vadis Dengan Kesepakatan Tata Batas Tanah Bumbu-Tanah Laut ?


Oleh : Imi Suryaputera, Ketua DPC PPWI Tanah Bumbu


Akhir-akhir ini banyak dibicarakan mengenai masalah perbatasan antara Kabupaten Tanah Bumbu dengan Tanah Laut. Meskipun pembicaraan tersebut hanya pada lingkup masyarakat yang terbatas. Tapi kiranya permasalahan itu tampaknya sangat perlu diketahui umum, terutama warga Kabupaten Tanah Bumbu.
Warga Tanah Bumbu khusunya yang tinggal di Desa Sei Cuka Kecamatan Satui, yang mana wilayah desanya hilang sekitar 1.200 Hektar menjadi milik desa tetangganya yang bernama sama Sei Cuka, patut tahu dan bereaksi sebagai sekumpulan warga yang menerima langsung dampaknya.

Menurut berbagai sumber baik mereka yang terkait dengan masalah itu, maupun yang sudah diterbitkan berbagai media, Bupati Tanah Bumbu dan Bupati Tanah Laut dengan persetujuan Gubernur Kalsel, melakukan kesepakatan terkait tata batas kabupaten, yang hasilnya sangat merugikan Tanah Bumbu.
Akibat kesepakatan yang diprediksi banyak pihak itu sebagai kesepakatan berbau kepentingan pribadi, mengakibatkan wilayah Tanah Bumbu (peninggalan warisan Kotabaru) menjadi semakin menyusut. Sebelumnya sebagian wilayah Tanah Bumbu diklaim dan dicaplok oleh Kabupaten Banjar, inipun disebabkan keterlibatan Gubernur Kalsel yang tampak memihak kepada Kabupaten Banjar.

Padahal warga yang sudah puluhan tahun mendiami dan menjadi bagian dari Tanah Bumbu mengetahui ketika masih bersatu dengan Kabupaten Kotabaru, tidak pernah ada klaim terhadap daerah di wilayah perbatasan kabupaten baik dengan Kabupaten Banjar maupun dengan Tanah Laut.
Namun setelah terjadi pemisahan kabupaten antara Tanah Bumbu dari Kotabaru, disamping terjadi booming eksploitasi tambang batubara, semakin sering terjadi klaim tata batas. Ini tentu saja menjadikan munculnya tanda Tanya besar di benak tiap orang, ada apa gerangan ?
Kepentingan pribadi, kelompok, golongan, tampaknya sulit untuk dipisahkan dari kepentingan jabatan dan politik. Kepentingan yang saling keterkaitan tersebut tak jarang bersikap tidak populis, tidak memihak kepada kepentingan umum.

Tiap orang boleh-boleh saja berprediksi terkait permasalahan kesepakatan tata batas yang dilakukan oleh Kepala Daerah kedua kabupaten itu. Mereka ada yang mengaitkan kesepakatan itu dengan masalah Pilkada pemilihan Bupati beberapa bulan lalu. Menurut mereka yang berprediksi demikian, bukan hal mustahil sudah ada kesepakatan diantara para Pejabat itu jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pilkada.
Adapun DPRD Tanah Bumbu, terutama Komisi I yang terkait permasalahan tersebut, tak urung bereaksi. Mereka menganggap pihak eksekutif kabupaten yaitu Bupati, sudah tak menghargai keberadaan lembaga legislatif yang merupakan satu rangkaian sinergi dalam melaksanakan pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Lembaga wakil rakyat itu wajar saja berteriak karena mereka lah sebagai penyampai aspirasi masyarakat manakala ada pihak yang sudah bersikap dan bertindak merugikan kepentingan umum.
Dalam masalah ini bila masyarakat tak lagi bisa menggantungkan harapan dan keinginan mereka kepada pihak pemerintahan eksekutif, maka tentu boleh berharap kepada lembaga legislatif. Jika keduanya pun tak juga bisa diharapkan, maka jangan pernah menyalahkan bila terjadi pengerahan massa untuk menuntut tanggung jawab dari legitimasi yang sudah diamanahkan kepada kedua lembaga itu.

Masyarakat kita kebanyakan adalah mereka yang bersikap sebagai silent majority. Kondisi seperti ini disebabkan tingkat SDM masyarakat yang belum memadai dan merata. Pola pikir masyarakat kita terutama di daerah, terbentuk atau dibentuk bukan oleh pemikiran murni, akan tetapi oleh para pemimpin non formal yang memiliki kharisma. Tak jarang pola pikir masyarakat terjadi secara instant karena beberapa hal yang mempengaruhinya, antara lain oleh gencarnya pemberitaan media massa.

Terkait kesepakatan tata batas antara Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Laut, biarkan pihak-pihak yang berhak dan berkepentingan yang menyelesaikannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun juga perlu diperhatikan adalah, libatkan mereka yang daerahnya menjadi objek kesepakatan tersebut. Di Desa Sei Cuka itu ada masyarakat yang sudah turun temurun bermukim disana, mereka juga memiliki Pemerintahan Desa dan perangkat jajarannya yang keberadaannya dilegitimasi oleh masyarakat berdasar aturan yang berlaku di Negeri ini. Rasanya tak arif bijaksana bila masyarakat yang berada disana dianggap seolah hanya sebagai asesoris pelengkap bila tak ingin disebut sebagai objek penderita saja.

1 komentar:

  1. tanah bumbu bukan hanya milik segelintir orang saja,knp bisa terjadi spt ini dmn hati nurani wahai para penguasa ?

    BalasHapus