Oleh : Agus Sudibyo, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers
Di Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.
Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.
Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?
Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.
Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.
Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.
Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.
Siapa bertanggung jawab ?
Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.
Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.
Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.
Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?
Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.
Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat. (Kompas, 24082010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar