Oleh : Imi Suryaputera
Dengan dibukanya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, ini berimbas kepada kebebasan pers yang selama beberapa dekade sempat terkekang oleh Rejim Orde Baru. Perusahaan media yang pada era sebelumnya sedikit jumlah, terkonsentrasi di beberapa kota besar, kini di hampir tiap kota propinsi maupun kabupaten terdapat perusahaan media. Dan juga yang beberapa dekade sebelumnya jenis media terdiri dari media cetak (koran, tabloid dan majalah), radio dan televisi, kini bertambah dengan hadirnya jenis media baru, yakni cybermedia (media tanpa ruang) ; internet atau media online.
Akibat dari kebebasan pers berdampak kepada menjamurnya perusahaan pers. Bila menghitung jumlah berapa media yang ada di seluruh Indonesia dari semua jenis, dapat dipastikan kita tak tahu jumlahnya.
Banyak perusahaan media yang berdiri cuma dengan modal nekat dan gagah-gagahan, terbit sekali atau dua kali, tapi kemudian lenyap karena tak sanggup memodali penerbitannya secara kontinyu. Padahal segala atribut terkait media itu sudah terlanjur diberikan kepada para pekerjanya (wartawan). Akibatnya banyak orang yang memegang kartu pers (press card) sebagai Wartawan namun tanpa ada medianya. Mereka ini sudah terlanjur menyandang nama dan status sebagai “wartawan”, petantang petenteng menunjukkan Kartu Pers kesana kemari, padahal medianya sudah lama hilang dari peredaran.
Kemudian daripada itu, tak sedikit media yang merekrut Wartawan secara serampangan tanpa meneliti latar belakang pendidikan si calon wartawan. Akibatnya tak sedikit pula wartawan yang nampak blo’on ketika konfirmasi apalagi wawancara dengan nara sumbernya, ditambah lagi tak memiliki pengetahuan serta keahlian penguasaan bahasa sebagai media pembuatan berita.
Ada saja seseorang yang kesana kemari mengaku wartawan, tapi tak pernah sekali pun membuat berita, atau memang tak ada medianya ; memiliki kartu pers berasal dari membuat sendiri dengan melakukan penjiplakan (scanning) atas kartu pers wartawan lain.
Nah, hal-hal semacam ini perlu mendapat perhatian dari tidak saja kalangan pers sendiri, tapi juga masyarakat luas sebagai objek berita dan nara sumber. Jika menemukan seseorang yang mengaku wartawan, meski memiliki kartu pers, patut diteliti secara seksama, telpon alamat redaksi yang tertera di kartu pers tersebut. Jangan lupa tanyakan medianya, apakah itu koran, radio, televisi maupun online. Karena media yang bersangkutan biasanya memuat seluruh susunan redaktorial termasuk para wartawan yang bertugas. Jika pada susunan redaktorial tak terdapat nama wartawan yang bersangkutan, bisa menghubungi redaksinya, bila redaksi atau yang berwenang di media itu menyatakan tak mengetahui wartawan yang bersangkutan, maka orang itu adalah WARTAWAN GADUNGAN, dan LAPORKAN ke yang berwajib.
Jangan takut menanyakan berbagai kelengkapan seseorang yang mengaku wartawan, karena itu memang hak anda untuk menanyakannya seperti halnya seorang wartawan yang juga punya hak menanyai anda.
Bila anda menggunakan hak anda untuk menanyakan kelengkapan seseorang yang mengaku wartawan, berarti anda sudah andil menyelematkan reputasi profesi pelaku jurnalistik di negeri ini. Dan ini berarti anda juga sebagai warga negara yang sadar akan hak anda untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya, dan ikut menegakkan demokrasi. Karena setelah lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, lembaga pers yang dalam hal ini adalah wartawan selaku ujung tombaknya, merupakan pilar ke-4 sebagai wahana untuk penyeimbang penegakan demokrasi.
Dengan dibukanya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, ini berimbas kepada kebebasan pers yang selama beberapa dekade sempat terkekang oleh Rejim Orde Baru. Perusahaan media yang pada era sebelumnya sedikit jumlah, terkonsentrasi di beberapa kota besar, kini di hampir tiap kota propinsi maupun kabupaten terdapat perusahaan media. Dan juga yang beberapa dekade sebelumnya jenis media terdiri dari media cetak (koran, tabloid dan majalah), radio dan televisi, kini bertambah dengan hadirnya jenis media baru, yakni cybermedia (media tanpa ruang) ; internet atau media online.
Akibat dari kebebasan pers berdampak kepada menjamurnya perusahaan pers. Bila menghitung jumlah berapa media yang ada di seluruh Indonesia dari semua jenis, dapat dipastikan kita tak tahu jumlahnya.
Banyak perusahaan media yang berdiri cuma dengan modal nekat dan gagah-gagahan, terbit sekali atau dua kali, tapi kemudian lenyap karena tak sanggup memodali penerbitannya secara kontinyu. Padahal segala atribut terkait media itu sudah terlanjur diberikan kepada para pekerjanya (wartawan). Akibatnya banyak orang yang memegang kartu pers (press card) sebagai Wartawan namun tanpa ada medianya. Mereka ini sudah terlanjur menyandang nama dan status sebagai “wartawan”, petantang petenteng menunjukkan Kartu Pers kesana kemari, padahal medianya sudah lama hilang dari peredaran.
Kemudian daripada itu, tak sedikit media yang merekrut Wartawan secara serampangan tanpa meneliti latar belakang pendidikan si calon wartawan. Akibatnya tak sedikit pula wartawan yang nampak blo’on ketika konfirmasi apalagi wawancara dengan nara sumbernya, ditambah lagi tak memiliki pengetahuan serta keahlian penguasaan bahasa sebagai media pembuatan berita.
Ada saja seseorang yang kesana kemari mengaku wartawan, tapi tak pernah sekali pun membuat berita, atau memang tak ada medianya ; memiliki kartu pers berasal dari membuat sendiri dengan melakukan penjiplakan (scanning) atas kartu pers wartawan lain.
Nah, hal-hal semacam ini perlu mendapat perhatian dari tidak saja kalangan pers sendiri, tapi juga masyarakat luas sebagai objek berita dan nara sumber. Jika menemukan seseorang yang mengaku wartawan, meski memiliki kartu pers, patut diteliti secara seksama, telpon alamat redaksi yang tertera di kartu pers tersebut. Jangan lupa tanyakan medianya, apakah itu koran, radio, televisi maupun online. Karena media yang bersangkutan biasanya memuat seluruh susunan redaktorial termasuk para wartawan yang bertugas. Jika pada susunan redaktorial tak terdapat nama wartawan yang bersangkutan, bisa menghubungi redaksinya, bila redaksi atau yang berwenang di media itu menyatakan tak mengetahui wartawan yang bersangkutan, maka orang itu adalah WARTAWAN GADUNGAN, dan LAPORKAN ke yang berwajib.
Jangan takut menanyakan berbagai kelengkapan seseorang yang mengaku wartawan, karena itu memang hak anda untuk menanyakannya seperti halnya seorang wartawan yang juga punya hak menanyai anda.
Bila anda menggunakan hak anda untuk menanyakan kelengkapan seseorang yang mengaku wartawan, berarti anda sudah andil menyelematkan reputasi profesi pelaku jurnalistik di negeri ini. Dan ini berarti anda juga sebagai warga negara yang sadar akan hak anda untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya, dan ikut menegakkan demokrasi. Karena setelah lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, lembaga pers yang dalam hal ini adalah wartawan selaku ujung tombaknya, merupakan pilar ke-4 sebagai wahana untuk penyeimbang penegakan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar