Oleh : Imi Suryaputera (anggota PPWI)
Beberapa rekan saya yang berprofesi sebagai wartawan, cuma manggut-manggut laksana burung kakak tua, mendengarkan pembicaraan saya seputar profesi mereka. Rekan-rekan wartawan yang saya maksud di sini, adalah mereka yang berada di daerah saya. Entahlah apakah para rekan wartawan di daerah lain, juga nasibnya kurang lebih sama dengan apa yang dialami di daerah saya.
Kebanyakan wartawan yang bertugas di daerah saya, di salah satu kabupaten di Kalsel ini, tak memperoleh gaji maupun bayaran upah dari perusahaan pers. Kalaupun ada sebagian kecil yang mendapat gaji, namun sangat jauh jumlahnya dari yang namanya Upah Minimum Propinsi (UMP). Kebanyakan penghasilan para rekan wartawan di daerah saya berasal dari hasil bertukar selembar koran, yang memuat berita daerah dengan selembar atau beberapa lembar Rp. 50 ribuan, tergantung isi beritanya.
Ada pula yang memperoleh penghasilan dari kegiatan investigasi kinerja instansi, maupun lembaga usaha. Atau individu yang diketahui memiliki cacat cela. Istilahnya, jika tidak ‘memeras’, ya ‘meremas,’ agar bisa mengalir isi kocek si objek investigasi, ke kocek si wartawan. Ini tampaknya bukan lagi menjadi rahasia di kalangan pelaku jurnalistik saja, tapi saya kira sudah menjadi public secret. Praktik premanisme jurnalistik istilahnya, terjadi setiap saat, terhadap semua objek yang menjadi target kegiatan jurnalistik.
Yang saya telah habis pikir adalah, kebanyakan rekan wartawan di daerah saya dengan secara sadar dan mata terbuka, dibodohi, ditipu, bahkan diperbudak oleh perusahaan pers, yang dalam segala hal, berada di posisi menang. Bayangkan, seseorang yang masuk menjadi seorang wartawan ; diwajibkan menyetor uang deposit dari jumlah ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Kemudian diwajibkan mengambil jatah koran setiap edisi, yang jumlahnya ditentukan oleh perusahaan pers, dari puluhan eksemplar hingga ratusan eksemplar, dihargai per eksemplar lebih murah sedikit daripada harga jual di pasaran, kemudian wajib menanggung ongkos kirim pula. Seorang wartawan di daerah tak memperoleh fasilitas apapun dari perusahaan tempatnya bekerja, selain selembar Surat Tugas dan Press Card yang terkadang mesti ditebus pula biaya pembuatannya.
Seorang wartawan pemula pun jadinya kasak kusuk mencari, kesana-kemari untuk bisa membeli kamera, alat perekam, laptop, bahkan sepeda motor agar kegiatan bisa lancar. Biaya peliputan dan pengiriman berita, ditanggung sendiri oleh si wartawan. Nah, di sinilah kekalahan si wartawan terhadap perusahaan pers yang memperkerjakannya ; cari berita, dikirim, diterbitkan, korannya dibeli sendiri untuk diedarkan, jadinya si wartawan membeli beritanya sendiri. Kebanyakan prinsip perusahaan pers adalah, mereka berpendapat telah memberikan semacam ‘power’ kepada si wartawan, sehingga tak perlu lagi memenuhi kewajibannya terhadap pekerjanya sesuai yang diamanatkan oleh UU Pers, sungguh suatu tindakan pembodohan yang sistematis.
Tak sedikit perusahaan pers, yang asal merekrut orang untuk jadi wartawan. Yang penting menurut mereka sepertinya ; sanggup bayar deposit, sanggup membayar jatah koran per edisi, maka, silakan jalan dengan embel-embel wartawan. Dengan kondisi seperti ini, apakah kita dapat berharap banyak kepada wartawan untuk menjadi other power for control? Anda pasti dapat menjawabnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar